MOD

Jumat, 01 Mei 2015

Redenominasi Rupiah


     Meneruskan wacana tentang Redenominasi Rupiah ini, sudah melalui pembahasan yang sangat panjang. Dan pada tahun 2013, makin menguat tentang akan diadakannya Redenominasi Rupiah itu sendiri.

    Kado membingungkan dari Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia yang baru terpilih secara aklamasi di DPR adalah mengeluarkan wacana redenominasi. Jika diartikan secara sederhana, redenominasi berarti penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Maksudnya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uangnya. Nilai mata uang tetap sama meski angka nolnya berkurang. Misalnya, Rp1000 menjadi Rp1, sedangkan Rp1 juta menjadi Rp1000.

     Tentu saja kado Darmin itu mengejutkan masyarakat. Kemungkinan mengapa Darmin menghembuskan wacana tak popular itu bisa jadi terkait dengan proses terpilihnya ia sebagai orang nomor satu di BI saat ini. Apalagi, pengajuan namanya secara tunggal oleh pemerintah sempat mendapat kritikan dari dewan, di mana Darmin termasuk tokoh yang disebut-sebut namanya terlibat dalam ‘’bailout’’ Bank Century yang sudah diputuskan salah dalam sidang paripurna DPR. Sehingga besar kemungkinan Darmin akan mendapatkan masalah bila kasus Century kembali diungkit oleh media massa dan publik untuk ditindaklanjuti secara hukum. Darmin tak ingin namanya disebut-sebut dalam kasus Bank Century. Jadi, tujuannya tak lain untuk pengalihan isu saja.

     Memang tidak ada manfaatnya yang nyata melakukan redenominasi buat bangsa Indonesia, khususnya rakyat. Malah dampak negatif yang ditimbulkannya –jika redenominasi dilakukan—cukup besar, dalam hal menjaga stabilitas ekonomi dan pembiayaan pencetakan mata uang baru (kertas, koin, sen). Kecaman pasti mengalir deras bila Gubernur BI tetap memaksakan redenominasi. Bisa terjadi ‘’rush’’ di bank dan kekacauan ekonomi. Dan belum tentu pula pasar internasional bisa menerima kebijakan redenominasi jika kondisinya dipaksakan, sengaja menjaga gengsi belaka, sementara fundamental ekonomi Indonesia masih rapuh serta cadangan devisa kita masih belum kuat.

      Boleh saja BI mengingatkan nilai pecahan mata uang Indonesia sebesar Rp100 ribu merupakan angka terbesar kedua di dunia. Pecahan mata uang Indonesia itu hanya kalah dari dong Vietnam yang memiliki pecahan 500 ribu. Namun, jika Zimbabwe dimasukkan, maka pecahan Indonesia berada di urutan ketiga terbesar di dunia. Kondisi yang fakta itu harusnya membuat pemerintah Indonesia malu dan bersungguh-sungguh memperbaikinya dengan menghidupkan perekonomian rakyat. Dan pertanyaannya: mengapa pemerintah seenaknya mencetak mata uang sebesar itu? Jawabnya karena fundamental ekonomi Indonesia rapuh. Tidak mampu menahan kenaikan harga barang di dalam negeri mengakibatkan inflasi tinggi sehingga stabilitas ekonomi menjadi terguncang. Dalam kondisi seperti itu rupiah dipastikan melemah. Jangan bandingkan dengan mata uang Amerika (dolar), dengan Singapura, bahkan dengan Malaysia, Thailand saja kita tidak mampu bersaing.

       Sekarang coba kita kaji apa alasan perlunya redenominasi versi BI. Pertama, mengatasi inefisiensi akibat semakin tingginya waktu dan biaya transaksi karena nilainya semakin lama semakin besar. Dengan transaksi tunai puluhan juta rupiah, anda perlu bawa tas, secara psikologis itu membuat rasa tidak aman. Alasan ini tidak sepenuhnya tepat karena transaksi kini sudah menggunakan kartu ATM, cek dll. Bahkan, bila mata uang rupiah diredonominasi bisa menyulitkan KPK menangkap basah para koruptor.

      Kedua, soal inefisiensi infrastruktur sistem pembayaran yang tentunya membutuhkan biaya besar. Selama ini, beberapa digit angka yang panjang telah merepotkan. Argometer taksi misalnya, dalam pembayaran Rp120 ribu, tertera 120.000. Toko-toko kecil mesin hitung yang mereka miliki juga memiliki batasan digit. Alasannya ini juga tidak mendasar karena teknologi sudah semakin canggih sehingga tidak ada sulitnya menambah tiga nol atau enam nol dalam pembayaran via mesin hitung atau ATM.

      Ketiga, mata uang rupiah mempunyai kendala dalam pencatatan pembukuan. Sebab, digit yang semakin banyak memiliki risiko kesalahan lebih tinggi. Tentunya bila salah akan menyebabkan biaya yang lebih tinggi. Ini alasan seperti anak SD yang baru mampu berhitung sampai puluhan atau ratusan.

     Keempat, Indonesia akan memasuki komunitas ekonomi Asean pada 2015. Tentunya, akan lebih baik jika satuan mata uang Indonesia setara dengan negara-negara Asean tersebut. Ini alasan tak masuk akal, pola pikiran dungu, karena tak mungkin bisa setara misalnya Rp1 sama dengan 1 ringgit (Malaysia), apalagi ingin setara dengan Singapura, Amerika (negara-negara maju). Perbedaan mata uang yang mencolok merendahkan martabat bangsa kita.

      Malah wacana redenominasi membuat bingung dan khawatir masyarakat dengan munculnya isu sanering atau pemotongan uang. Hal ini bisa membahayakan perekonomian sehingga perlu diantisipasi oleh pemerintah. Khususnya pejabat BI wajib menjelaskan apa manfaat nyata kebijakan redenominasi bagi rakyat sekaligus memastikan tidak benar bakal dilakukan sanering atau pemotongan uang sekalipun tenggat waktunya masih panjang pada 2011 hingga 2020.